Hari ini tidak berdiri sendiri. Sekalipun ada ungkapan, hiduplah hari ini. Bergembiralah. Lupakan kemarin dan esok. Namun, tidak akan lepas dari cetusan sejarah, alur cerita yang menentukan. Hari ini dilahirkan masa lalu dan titik tumpu masa depan. Tan hana nguni tan hana mangké.
Kumpulan esai Bung Karno, Di Bawah Bendera Revolusi, memotret jalan pikir yang kontekstual tentang perjalanan bangsa. Roh pergerakan yang terus berdenyut. Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Hidup dan tumbuh sejak bangsa Indonesia belum merdeka. Bisakah ketiganya dipadukan?
Bung Karno memandang, rasa kebangsaan akan menumbuhkan percaya diri untuk berjuang mempertahankan kedirian dari ancaman. Kebanggaan sebagai bangsa, bukan semata suku atau ras tertentu. Bukan garis biologis, melainkan sosiologis. Pergaulan hidup menuju satu titik keinginan bersama.
Pemikiran fenomenal bergema sampai kini. Tidak ada halangannya, nasionalis dalam setiap derap langkah bekerja bersama-sama dengan Islamis dan Marxis. Nasionalis sejati akan terhindar dari segala faham kesempitan. Rasa cinta bangsa terbentang luas. Memberi tempat pada segala segi.
Bung Karno mengajak para pemikir pergerakan bangsa merumuskan nasionalisme yang genuine. Nasionalisme Ketimuran, bukan Nasionalisme Barat yang ketika itu dinilai saling serang, berhitung untung-rugi, dan egois. Bukan pula malah menjadi pembelah persatuan, dan saling menghabisi.
Pergerakan bangsa, baik nasionalis, islamis, dan marxis, waktu itu, memiliki persamaan nasib dan musuh bersama. Pergerakan melawan kapitalisme dan imperialisme Barat. Sepenanggungan. Bukan lawan tetapi kawan sejalan. Bung Karno muda mengajak keluar dari kesempitan budi dan pikir.
Perbedaan cara memandang hidup bukan perkara baru. Pada akhirnya ada masanya, setiap pengaruh atau isme bernegosiasi. Saat ini pun tak jauh berbeda. Antarkubu yang saling berhadapan, bertempur total di podium bernama demokrasi. Setelah usai, adegan apa lagi yang harus diperankan?
Proses tawar-menawar dengan jalan berunding untuk mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak dengan pihak lain, sangat lumrah dilakukan. Negosiasi pun berlaku demi menjaga eksistensi dalam konflik. Dialog pemikiran salah satunya. Bung Karno menawarkan negosiasi itu. Alot.
Jalan pikir Bung Karno bisa ditelusuri jejaknya dalam karya-karya tulisnya. Siapa pun yang peduli menjaga keutuhan bangsa. Kilas balik yang menyehatkan. Esai pembuka dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi saja, sudah bisa membuka cakrawala berpikir. Abaikan soal pro dan kontra.
Ketiga arus besar paham hidup itu dibedah. Ditelisik kekuatan dan kelemahan yang ditenggarai menjadi pemicu perselisihan di antaranya. Bung Karno menawarkan negosiasi melalui esai bertajuk “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Cetusan pemikiran yang layak dikaji dengan jernih.
Bung Karno mensyukuri anugerah kemampuan berbahasa dengan tepat. Tampil sebagai orator ulung dan seorang penulis andal. Bahan baku media dicerna dengan matang. Menyuguhkan pandangan faktual dan faksional dalam wujud esai. Pun mampu mengolah daya fiksional menjadi prosa dan puisi.