“Bapak mah geus pasrah. Sing alakur jeung dulur,” katanya suatu waktu. Bahkan, sekira dua pekan lalu, meminta adik-adik saya dikumpulkan. “Kumpulkeun. Bapa hayang dipangaoskeun,” suaranya masih jelas.
Pesan itu saya sebar di grup WA keluarga.Saya kakak sulung di antara tujuh putra-putri Bapak. Anak pertama laki-laki, anak kedua perempuan, ketiga laki-laki, keempat perempuan, begitu sampai adik bungsu. Selang sekar, kata Nenek Buyut saya, Ma Itjih. Komposisi sempurna.
Selepas pensiun, Bapak mengemban amanah Ketua RT 05/RW 01, Kampung Kaum, Kelurahan Indihiang, Kota Tasikmalaya. Aktivitasnya masih terjaga. Aktif di kelurahan. Tempo hari juga turut sibuk mengurus bantuan sosial. Mendata warga, bahkan mengawal agar bansos tersalurkan secara tepat. Meskipun dalam perjalanan terjadi dinamika yang cukup melelahkan.
Saya banyak belajar, agar hidup mandiri. Bapak mendidik saya sangat keras dalam urusan itu. Tanpa disadari, waktu kecil saya sesekali diajak main ke Kantor Agraria (sekarang Badan Pertanahan Nasional). Di sana saya mengenal mesin tik, alat gambar teknik rapido, dan kertas kalkir.Sejak SD saya sudah “bermain” mesin tik dan ngoprék rapido yang biasa Bapak gunakan untuk menggambar peta. Beberapa di antaranya ada yang saya minta, terutama yang ukuran 0.2 dan 0.3. Saya mulai curat-coret menggambar karikatur sejak mengenal rapido Staedler atau Rotring itu. Sekira kelas 5-6 SD.
Sampai duduk di SMP dan SMA, menjadi penadah alat gambar terus berlanjut. Saya kirim beberapa gambar ke media. Di antaranya, Giwangkara, Galura, Mangle, Mitra Desa, dan Pikiran Rakyat. Alhamdulillah lolos. Dimuat di rubrik humor, Landong Baeud, Ha-ha-ha, Abrulan Kartun, dan Parkir Seuri.Di SMA waktu itu saya diamanati kawan-kawan menjadi ilustrator Majalah Lugu. Di kampus mesti menggawangi majalah himpunan, Tangara, dan ilustrator majalah Fakultas Sastra Unpad, Koridor. Ternyata peran mesin tik dan rapido Bapak sangat berarti. Boleh jadi perangkat itu yang menjadi titik balik perjalanan eksistensial.
Waktu SMA saya pernah mendapat kiriman honor hasil menggambar kartun, via wesel. Senangnya bukan main. Rupanya, saya jadi ketagihan. Selain rutin membuat cerita dan gambar di majalah dinding sekolah, saya mengirim juga ke media massa.Sampai saya kuliah, rapido bekas Bapak masih saya gunakan. Jadi ilustrator di Surat Kabar Mingguan Kudjang, sejak akhir semester kedua. Rapido itu sangat berjasa. Rapido milik Bapak. Gambar-gambar yang dimuat di Giwangkara, Galura, Majalah Mangle, Mitra Desa, dan Pikiran Rakyat menjadi saksi.
Cerita ini sekadar fragmen. Bagian terkecil dari kisah kebaikan Bapak yang mengajari hidup mandiri. Saya tidak bisa mengukur jasa-jasa Bapak yang tanpa batas itu. Semoga menjadi amal saleh penerang jalan.Kini Bapak, H. Sardjijono, telah berpulang. Hari Sabtu (12/6/2021). Dikebumikan di kompleks pemakaman keluarga Babakan, Kelurahan Indihiang.
Sejatinya kami, putra-putrinya, tidak usah kaget. Lantaran, sejak enam bulan silam, dokter sudah memberi rambu-rambu. Ada salah satu sel dari bagian bronkus yang menyerang paru. Tumor yang tidak bisa disingkirkan. Kami sudah pasrah.Sebelumnya sempat diperiksa di RS Rotinsulu Bandung, kemudian Permata Bunda Tasikmalaya, dan RSUD Kabupaten Ciamis.
Terimakasih dr. Abu yang ramah, telah merawat Bapak dan mendampingi kami di RSUD Ciamis. Terimakasih warga RT 01 Kampung Kaum yang telah memulasara, mengantar, dan memakamkan jenazah. Terimakasih Polsek dan Koramil Indihiang, yang telah menjaga kami selama proses pemakaman. Pandemi belum berakhir. Mudah-mudahan semuanya sehat walafiat.
Jika ada yang memiliki kaitan muamalah atau urusan kemasyarakatan lain, kewajiban utang-piutang almarhum Bapak, bisa menghubungi kami, pihak keluarga. Jika ada kesalahan Bapak kepada siapa pun mohon dimaafkan. Semoga almarhum dilapangkan kuburnya, diterangkan jalan di alam baka, diterima amal salehnya, dan diampuni dosa-dosanya. Amin.
Indihiang, 15 Juni 2021