Connect with us

Momen Artifisial

Komunitas

Momen Artifisial

Catatan Pameran Bersama JEPRET UNISBA, “Panggung Selebrasi” 8-30 Mei 2010

Ratusan pasang mata tertuju pada sebuah panggung. Band Indie yang menghadirkan komposisi musik, turut ditimpali aksi musisinya. Sayatan distrorsi gitar menjerit histeris, ditimpali rhythm section-bass dan drum. Kini giliran lead vocal mengerang, mengarahkan microphone pada penonton, bahwa ruang batas sudah tidak ada lagi. Penonton adalah musisi juga, sama-sama larut dalam hentakan musik rock. Itulah sebuah “panggung realita” yang dibangun melalui jepretan kamera, dalam pameran bersama “Panggung Selebrasi” karya bersama Jendela Edukasi Pemotret Bandung (JEPRET) Universitas Islam Bandung, tanggal 8 hingga 30 Mei 2010.

Inilah statement karya bersama, yang dipajang rame-rame di sebuah kedai kopi disudut belakang taman Dago, Cikapayang Bandung. Memang bukan hal aneh lagi, kini pameran ditempatkan pada sebuah ruang komersial (menandakan tidak ada ruang yang layak untuk pameran karya fotografi di kota Bandung) seperti kedai kopi ini, yang menyulap dirinya ala kadarnya, menjadi ruang pertemuan bagi pelaku fotografi di Bandung. Bagi pengelola kedai ini, tentunya ini adalah lahan bisnis yang basah, sesuai dengan tag line “belilah makanan di sini, maka pajanglah karyamu”. Tentunya para pelaku fotografer tidak akan merasa dimanfaatkan, bila ruang ini dikelola dan diatur menjadi ruang bersama, sekaligus menjadi-misalnya ruang layak pamer karya.

Menerawang memasuki ruang pameran, ternyata harus melalui meja-meja yang memang diperuntuk bagi pembeli. Tata letak kursi yang seharusnya ditata menarik untuk jalur penikmat foto, nyatanya bertebaran. Malahah beberapa foto digantung diseberang meja dan kesepian tanpa sorotan lampu sama sekali. Sesak dan padat, pada ruang tidak terlalu lebar, rupanya pemilik kedai kopi ini kurang cerdas menata ruang sempit ini.

Memang aneh juga, kedai kopi ini membranding dirinya dengan café photography, nyatanya pengemasan karya, ruang pajang, perlengkapan pendukung seperti lampu sorot, tata letak dan sebagainya, sangat kurang. Bagaimana karya bisa bersorak, bila penyajian pameran saja kurang diperhatikan. Pada akhirnya, karya foto tersebut bukan disebut pameran foto, namun dekoratif penunjang kedai kopi ini. Menyedihkan.

Di sudut bagian dalam, sebagian besar karya dipajang pada dinding yang memang diperuntukan bagi pameran kali ini. Dinding triplek menutupi toilet umum, kemudian disulap menjadi wall art gallery. Lampu sorot tungsten pun kurang cukup menerangi beberapa foto, bahkan sudut sebelah kiri nyaris tidak disoroti lampu. Sekali lagi cara unik menikmati karya foto dalam gelap gulita. Dalam kondisi gaduh dan pengunjung hilir mudik, tentu saja saya harus tabah meraba dan memaknai foto dalam batas waktu yang singkat. Saya berusaha menerka-nerka setiap foto yang tersaji dalam ukuran tiga puluh kali empat puluh ini. Sulit juga memahami karya kolektif ini tanpa ada dasar wacana yang biasa diberikan oleh kurator, sebuah statmen dari kurator.

Dari sekian ratus foto yang dikirim kepada kurator, kemudian dikurasi oleh Firdaus Fadlil yang kini bekerja pada majalah remaja HAI. Dari hasil penelurusan, maka keluarlah lima puluh foto yang layak pamer, menurutnya. Karya ini adalah hasil eksplorasi tiap angkatan 2008, 2009 dan 2010 dari Jendela Edukasi Pemotret Bandung (JEPRET) Unisba. Pameran bersama ini kemudian dikemas dalam tema “Panggung Selebrasi” yang menurut ketua penyelenggara adalah dalam rangkaian ulang tahun klub JEPRET ke-sepuluh.

Mencari tema yang sama, bagi mereka yang mengawali fotografi, pasti mencari bentuk dalam benang merah yang sama. Rupanya, klub ini sangat menyukai memotret live music. Semua karya yang dihasilkan anggota klub ini bertemakan foto-foto panggung, bentuk yang sama ini, kemudian mereka sepakati menjadi tema sentral pameran yang homogen foto panggung musik.

Mudah-mudah gampang, begitulah foto panggung ini (Dalam pameran ini dibatasi untuk pertunjukan foto musik modern, padahal begitu banyak performing di atas panggung yang jauh lebih menarik) Tugas si pemotret adalah memaknai kembali ekspresif lingkungan dan subyek yang berada di panggung. Makna yang dangkal akan mudah dilihat, malahan dalam beberapa karya yang hadir tidak bermakna sama sekali, lebih banyak berbicara teknis. Panggung adalah dunia artifisial, semuanya memang sudah diatur, baik itu dari tata suara, lampu, koreografi hingga busana. Tugas si pemotret adalah merangkum dari semuanya. Bila berhasil, karya tersebut menjadi catatan dokumentasi yang bisa menembus beberapa jaman, lihat saja karya-karya Annie Leibovitz. Hingga media Amerika menasbiskan karyanya sebagai American Pop Culture Icon.

Berhasil atau tidak foto panggung, bermuara pada wawasan sipemotret itu sendiri. Sejauh mana ia bisa “meng-alih wahanakan” statemen si musisi yang dipresentasikan di atas panggung (performing) kemudian dibekukan dalam satu bingkai foto. Kembali lagi, segala kepalsuan di atas panggung pada pentas musik itu memang bisa mengasikan, tetapi juga sungguh biasa-biasa saja, tergantung maunya apa. (denisugandi@gmail.com)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Advertisement
Advertisement WordPress.com
To Top