Kebudayaan dilahirkan manusia. Sejak zaman purba anugrah kreatif itu sudah melekat. Sejak manusia belum mengenal aksara, interaksi sosial sudah berlangsung. Alur sejarah perkembangan pemikiran dan cara memaknai hidup pun terbangun. Ketegangan antara konvensi dan inovasi selalu mewarnai. Dinamis.
Tradisi dan modern acapkali menjadi perbincangan hangat. Kesepakatan sosial, norma-norma — tidak dipungkiri — melakukan perlawanan terhadap sesuatu yang baru. Pergulatan gagasan yang keras. Namun, faktanya perkembangan mutakhir tak bisa dibendung. Perubahan nyaris dipastikan akan berlangsung. Radikal.
Era disrupsi bukan kali ini saja terjadi. Kebaruan dicurigai akan menghilangkan barang lama. Ketahanan bentuk ini rupanya masih bisa diperdebatkan melalui kajian lebih dalam. Bangunan lahiriah paling gampang musnah. Saatnya mencari cara agar relevansi nilai-nilai budaya lokal terhadap modernitas bisa dipertahankan. Kompromi.
Mesin uap ditemukan James Watt. Langsung merubah prilaku manusia. Proses industri bergeser dari tenaga manusia ke tenaga mesin uap. Penemuan teknologi pada tahun 1776 itu, mendorong transportasi menjadi lebih efesien. Distribusi lebih cepat. Itulah Revolusi Industri 1.0. yang dianggap menjadi titik balik teknologi pertama.
Babak selanjutnya, pada tahun 1845 Michael Faraday menemukan teknologi listrik. Namun lebih populer saat Thomas Alva Edison mengumumkan penemuan penting lampu pijar tahun 1879. Masa Revolusi Industri 2.0 itu mulai mendongkrak industri lain yang berkaitan dengan perkembangan dunia transportasi.
Peran
manusia mulai berkurang saat era Revolusi
Industri 3.0 mulai berkembang. Komputer ditemukan. Produksi sudah mulai
menghadirkan mesin yang berpikir dan bergerak secara otomatis. Memicu abad
informasi mulai tumbuh melesat. Kode-kode mulai bermain. Ada pemutakhiran dari
dua era sebelumnya.
Revolusi Industri 4.0 hadir melengkapi tiga era sebelumnya. Jejaring terhubung. Internet. Komputer dan robot mendapat ruang yang lebih luas. Perangkat bisa terhubung dalam waktu yang sama. Telepon pintar menembus batas ruang dan waktu. Bukan saja bisa menaklukkan jarak tetapi sekaligus membuat segalanya menjadi ringkas dan sederhana. Tinggal tekan. Klik!
Dunia dalam genggaman. Informasi terhubung dalam sekejap selama 24 jam penuh. Segala jenis pekerjaan manusia bisa dilakukan di mana saja. Small office home office (Soho). Generasi masa ini bisa bekerja kapan pun, tanpa harus membangun kantor yang mewah. Ruang virtual bisa dimiliki dalam sekejap. Siapkan konsep dan konten. Tantangan Revolusi Industri 4.0 bisa dihadapi tanpa kekacauan.
Kecemasan
bisa terjadi lantaran ada kekhawatiran. Era disrupsi yang buas disikapi dengan
rasa was-was. Fakta-fakta sedang dan sudah terjadi. Seperti halnya puluhan ribu
penjaga gerbang tol, yang kini menghilang, karena diganti kartu. Petugas SPBU
pun was-was. Karyawan bank turut was-was. Pramuniaga juga. Pramugara-pramugari.
Pramukamar, pramukantor, pramubarang, dan pramu-pramu lain juga ketar-ketir.
Banyak
orang takut kehilangan peran. Teknologi menjadi ancaman yang benar-benar serius
bagi keberlangsungan hidup. Alih-alih menjadi berkah. Mesin dan robot menjadi
musuh paling berbahaya. Kecanggihan menjelma menjadi sangat menakutkan. Semua
lapangan pekerjaan diambil alih mesin. Manusia tidak berguna lagi, kemudian
dicampakkan. Pemutusan hubungan kerja massal tak terhindari. Manusia
berguguran.
Apakah
betul era Revolusi Industri 4.0 sangat menakutkan seperti itu? Bagaimana
dampaknya terhadap keberlangsungan dunia kesenian? Apakah kesenian tradisional
yang komunal lambat laun turut tergerus? Bila kondisi itu terjadi, para pelaku
kesenian pun sudah pasti akan terkena getahnya. Kecemasan ini layak untuk dimengerti.
Lumrah, karena menyangkut identitas. Kesenian salah satu penanda suku bangsa.
Teknologi
digital seperti dua mata sisi uang. Dampak baik dan buruk bisa dirasakan. Mesti
ada ikhtiar untuk menyelaraskan agar keseimbangan tetap terjaga. Bersama
menghimpun energi agar bisa menyikapi perkembangan mutakhir dengan bijak.
Teknologi semestinya membuat hidup lebih baik. Bukan sebaliknya. Teknologi
bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dimengerti. Tidak ada jalan lain, kecuali
harus mempelajarinya. Mengenal lebih dekat.
Langkah
sederhana yang bisa dilakukan dalam waktu dekat adalah bergotong royong
mengumpulkan data khazanah kebudayaan Kota Tasikmalaya. Para pegiat kesenian
bisa turut berpartisipasi melakukan inventarisasi budaya lokal. Dokumentasi
kesenian bisa dilakukan dengan menggunakan gawai.
Setiap
peristiwa kebudayaan direkam. Didokumentasikan dalam teks, audio, dan visual.
Tentu kanalnya harus disiapkan. Soal teknis ini bisa dirumuskan dalam tindak
lanjut yang lebih detil. Konsepnya sederhana. Memperkuat kapasitas individu
para aktivis seni dan budaya untuk mendokumentasikan peristiwa dan kekayaan
budaya lokal. Bahkan, bisa menyiarkan langsung pertunjukan dalam jaringan.
Selama memiliki konsep dan konten, pasti tidak akan kehilangan peran. Kekhawatiran yang terjadi selama ini, boleh jadi, karena ada yang luput. Potensi seni dan budaya Kota Tasikmalaya, harus diwujudkan menjadi kekuatan. Perkembangan teknologi mutakhir bukan ancaman, malah bisa menjadi panggung baru yang menyenangkan. Tata kelola harus berubah. Bisa saja panggung virtual akan lahir dalam waktu dekat ini.
)* Pengantar diskusi di Hotel
City, Kamis, 2 Mei 2019