Connect with us

Puisi, Blues, dan Rock

Sosbud

Puisi, Blues, dan Rock

setubuh-kataPUISI lazimnya dibaca. Namun kumpulan puisi Nazarudin Azhar yang terangkum dalam Setubuh Kata, diapresiasi dengan berbagai suguhan di Gedung Kesenian Tasikmalaya, Sabtu (24/2/2001) silam. Selain dibacakan, puisi Naza­rudin Azhar juga dimusikalisasi. Bahkan, perupa Iwan Koeswana mencoba menafsirkannya dengan harmonika.

Setiap Hari adalah Rahasia, dibaca cukup baik oleh Triska. Dia berhasil menghadirkan aku lirik yang sepertinya ingin menggelontorkan kesan romantis. Diksi atau pilihan kata rahasia yang ditulis tiga kali berikut judul, seperti ingin ditekankan oleh penyair. Menjadi romantis karena larik: kata-kataku menjelma kenangan. Pilihan kata kenangan, merujuk pada jejak masa lalu yang sulit dilupakan, terlepas dari kenangan itu indah atau buruk. Karena pada larik berikutnya penyair menulis: jejak ataupun luka yang hangus.

Kata rahasia juga terdapat dalam puisi lainnya; yakni Lirik Sunyi. Aku lirik mengulangnya juga sampai tiga kali: kita terjaga karena sebuah rahasia, cintaku. Ada kesan lain dalam puisi yang dibacakan Iman Abda ini. Nuansa sosialnya lebih kenta­ra. Seperti yang terbaca dalam larik-larik: di luar, spanduk dan poster; telah dilipat atau dibakar dan seterusnya. Spanduk dan poster adalah lambang yang menandai aksi atau unjuk rasa, dan setiap saat bisa saja meledak menjadi huru-hara.

Selanjutnya digambarkan kerusuhan dengan: di atas puing bulan kuyup. Bisa jadi puing adalah antithesis kerusuhan. Karena kerusuhan yang luar biasa: gedung-gedung dibakar dan dihancurkan, hingga yang tertinggal hanyalah puing.

Hal menarik ditemukan juga dalam puisi Yang Tertikam Cahaya. Ketika Ajeng Miftahul Jannah membaca puisi ini, kerinduan yang menyakitkan seperti dimunculkan si aku lirik. Mengingatkan pada larik Sutardji Calzoum Bahri: kutikam engkau aku berdarah.

Menggambarkan betapa “sakit”-nya merindukan kekasih. Kesannya menjadi semakin kuat pada larik-larik: lima sayatan di keningku; nanah api menyungsang sepi. Betapa cinta bisa membuat seseorang menjadi risau, gelisah, tak enak tidur dan tak enak makan.

Kesan religius ditemukan dalam puisi yang bertajuk Penghuni Jiwa. Keimanan menurut penyair, seperti yang diungkapkan dalam puisi itu, pada akhirnya merupakan persoalan yang individual: dan kita harus menentukan pilihan pada kesendirian.

Menginjak pada suguhan berikutnya, suasananya lebih cair. Apresi­ator diajak untuk lebih dekat dengan puisi. Nazarudin sekaligus menyanyikan beberapa puisinya, diiringi Ade Rochyan cs. yang memotori Kilangbara Band. Memang sejenak kita seperti terlepas dari puisi yang merupakan bentuk karya sastra. Yang ada adalah seni kolektif yang diwujudkan dengan musik rock yang atraktif.

Bahkan, perupa Iwan Koeswana mencoba melengkapi suguhan sore itu dengan tarikan dan tiupan harmonika. Sepintas lalu seperti tak berkaitan sama sekali. Karena kata demi kata, larik demi larik dalam puisi “Asmaradana”, menjadi hilang. Iwan menerjemahkannya ke dalam nada yang dihanyutkan harmonika, melalui entakan irama blues.

Menurut Drs. Jojo Nuryanto M.Hum, yang ketika itu menjadi pembi­ cara, kondisi ini bisa jadi sebagai upaya para kreator untuk memasyarakatkan puisi. “Masyarakat kita memang tidak begitu menye nangi puisi. Hanya kalangan tertentu saja,” katanya. Dalam kesem­ patan itu juga tampil pembicara Drs. Eriyandi Budiman dipandu Nizar Machyuzar dari Teater Elips. Berbeda halnya dengan Jojo — yang membedah puisi sebagai sebuah struktur — seperti layak­ nya sebuah bangunan. Jojo mencoba berbicara lebih objektif dengan analisa bernada ilmiah. Sedangkan, Eriyandi lebih impresif, karena mengandalkan analisa yang spontan dari pencerapan dirinya.

ilustrasi 123rf.com

Continue Reading
Advertisement
3 Comments

3 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Advertisement
Advertisement WordPress.com
To Top