Metrum
Di Stasiun Sepi Belajar Mengaji
Pengantar Bedah Karya Penyair Tasikmalaya
ADA nama seseorang di bawah judul puisi untuk persembahan atau penghormatan. Tidak semata disebut, tentu ada kesan penyair tentang sosok nama itu. Penegasan sajak tidak bisa dilepaskan antara penyair dengan komunitas atau masyarakatnya. Karya sastra — menurut Teeuw — tidak diciptakan dalam keadaan kekosongan budaya. Puisi beranjak dari hubungan intim dengan latar sosial yang terbangun.
Dari 16 puisi Galih M. Rosyadi, enam puisi di antaranya menyebut nama orang. KH. Zainal Musthafa, Trisno Soriton, Azyumardi Azra, Beni Yasin Guntarman, TNK, dan YN. Nama-nama itu tidak begitu saja hadir. Tidak terlepas dari impresi pengarang saat menuliskannya. Pengarang terhubung dengan paham-paham, pikiran-pikiran, atau pandangan dunia pada zamannya atau sebelumnya.
Begitu pun dengan 15 puisi karya Dede Rostiana dan 31 karya Sahaya Santayana yang didiskusikan di TBM Harapan Baru, Kp. Mekarjaya, Cilamajang, Kawalu, Tasikmalaya, Rabu (22/7/2020). Ketiga penyair Tasikmalaya itu menafsirkan pengalaman mereka dengan bahasa berirama demi mengungkapkan perasaan yang direkakan. Merekam detik-detik yang paling berkesan dalam hidupnya. Bisa kebahagiaan atau kesedihan yang memuncak.
Simak puisi Desember karya Galih M. Rosyadi.
Desember
-buat Trisno Soriton
(1)
hujan Desember
mengantar kabar duka
sedingin malam
(2)
duka Desember
taburan bunga-bunga
mengantar pulang
(3)
jejak Desember
tetesan air mata
basahi jalan
(4)
doa Desember
membingkai satu nama
di batu nisan
2019.
Rancang bangun Haiku digunakan pengarang untuk menggambarkan suasana duka dalam 17 suku kata. Rangkaian diksi dalam tiga larik sudah terpola. Larik pertama lima suku kata, larik kedua tujuh suku kata, larik ketiga lima suku kata (5-7-5). Penulisan puisi yang dikenalkan penyair Jepang, Masaoka Shiki itu khas. Struktur ramping namun langsung menohok.
Desember yang kelabu. Pegiat seni, Trisno Soriton telah wafat pada bulan Desember 2019. Tokoh yang disebut dalam puisi itu tidak terbantah getol menggelorakan Haiku. Jejak digital tentang dirinya bisa dilacak. Sangat beralasan jika penyair menyampaikan penghormatan dengan empat bait Haiku bertajuk Desember. Doa Desember / membingkai satu nama / di batu nisan.
Bulan Desember (Desember) dalam sajak Galih M. Rosyadi diwarnai kesedihan. Seperti halnya kegelisahan Sahaya Santayana pada bulan Maret (Dibelah Sunyi), September (Serpihan Hari), Oktober (Dilindapkan Makna), dan Nopember (Di Antara Pohon). Apa yang terjadi pada bulan-bulan itu boleh jadi sangat penting bagi penyair. Tahun yang sama 2018.
….
juga Maret. Pun belum sampai
Di tanganku begitu penuh dengan kebosanan
Waktu. Tak sesuai sebagaimana mestinya
…
(bait ke-3, Dibelah Sunyi)
….
di September. Kebahagiaan
yang numpang lewat layaknya
kita yang dipertemukan udara. Dan hujan
…
(bait ke-3, Serpihan Hari)
….
di Oktober. Penuh pertanyaan
dan sebuah jawaban mesti
kuperjuangkan sendiri
…
(bait ke-3, Dilindapkan Makna)
….
dalam hati. Mengapa November lalu
tak kau jelaskan. Demikian terlambat.
ketakjuban lantas hilang dibawa angin. Pengembaraan
membawa. Kalimat-kalimat diantar
kesepian yang telanjur. Diendapkan
kita. Terasa Didemarkasikan Waktu
…
(bait ke-3 dan ke-4, Di Antara Pohon)
Kegalauan aku lirik dalam Dibelah Sunyi dipertegas bait pertama dan kedua. Lantaran, hampir setiap hari aku lirik mendatangi rumahnya. Sambil menatap dan menunggu penantian. Ditempuh sambil menguji kesabaran, walaupun belum tampak pertanda yang menggembirakan. Di mana matamu belum turun ke hati / Telanjur kutinggalkan / dan berangkat menuju / muara yang berkuala di dalam diri.
Puisi berikutnya masih bernada sama. Serpihan hari terus berlanjut. Ribuan jam sudah / aku menanti / balasanmu yang masih / didekam keremangan kabut//waktu seperti jantung / gelisah berdetak mengandung / irama makna yang memompa. Jawaban / tapi tak tahu kapan datang. Semestinya. Kembali kebahagiaan cuma lewat saja pada bulan September.
Penantian aku lirik masih bertahan pada bulan Oktober. Walaupun secara perlahan mulai meredup (Dilindapkan Makna). Perjalanan panjang untuk memperjuangkan sebuah kepastian: malam itu. Selalu lidahku kelu / seperti ombak yang telanjur membeku / dipatungkan Waktu.
Selanjutnya membandingkan perasaan yang tumbuh dalam sajak Di Antara Pohon, layaknya belukar. Aku melihat dan mendengar / belukar-belukar itu tumbuh / dengan kata-kata / lalu. Membentuk alinea pengungkapan.
….
Kalimat-kalimat diantar
kesepian yang telanjur. Diendapkan
kita. Terasa Didemarkasikan Waktu
(bait 4, Di Antara Pohon)
Kepedihan dengan latar tempat berbeda ditemukan dalam puisi yang ditulis Galih M. Rosyadi teruntuk FN. Deburan kegalauannya tidak kalah hebat dengan puisi milik Sahaya Santayana. Sosok FN menjadi tokoh paling dramatis dalam puisi Pada Sebuah Pelayaran. Kicauan camar dan lambai pohon kelapa yang eksotis berganti menjadi tragis.
Semula cinta sudah tertambat di dermaga setelah melalui pelayaran. Namun kemudian menyisakan kepedihan. Jala yang koyak, jangkar yang patah, melukiskan suasana hati yang retak seusai menjalani kisah indah. Melangkah dengan tatapan kosong di sela-sela hembusan angin pantai, deburan ombak, karang yang basah, dan sampan-sampan yang berlabuh.
Demikian pula sajak untuk TNK, Jalan Sanca. Ada aroma cinta yang dikenang-kenang. Aku lirik pernah hendak membangun hubungan istimewa dengan seseorang. Mungkin berinisial TNK itu. Ada pertanda menggembirakan, lantaran pada bait pertama diungkapkan: Jalanan ini pernah kautaburi bunga / Pintu dan jendela pernah lama terbuka / Udara menggetarkan pohon-pohon / Cahaya menyelinap di celah daun-daun.
Suasana paradoks mengemuka pada bait kedua. Jalanan ini kini begitu asing / Tak ada lagi yang menyanyikan lagu / Udara begitu dingin / Musim dan cuaca telah berganti nama. Jalanan yang semula ditaburi bunga berubah menjadi pangling. Pintu dan jendela yang semula terbuka kini tertutup rapat, sehingga nyanyian yang biasa mengalun tak terdengar lagi. Udara yang menggetarkan pohon-pohon kini menusuk tulang. Cahaya yang menyelinap di celah daun-daun kini redup.
Suasana berbeda bisa dicermati dari sajak Dede Rostiana, Kamu Saja. Cinta yang riang. Tidak murung seperti puisi bernada cinta milik Sahaya Santayana dan Galih M. Rosyadi. Bergelora. Ada cinta di dada / Ada rindu menggebu / Ada sayang seluas samudra / Ada kekaguman yang meraja / Dan di hatiku cukup ada kamu saja. Nada cinta layaknya nyanyian seorang remaja.
Kamu Saja
Ruang hatiku menghangat
Helaian rindu
kau selimutkan di batinku
Untaian kata manis
Memulas bibir merahmu
Mendesahkan huruf-huruf
Indah romantis
Memadu rindu
Mengelok kata
Terbuai kita menuai asa
Emotion kecupan
Berjajar di keningku
Ada cinta di dada
Ada rindu menggebu
Ada sayang seluas samudra
Ada kekaguman yang meraja
Dan di hatiku cukup ada kamu saja
Tasikmalaya, September 2017
Pilihan kata dalam puisi-puisi Dede Rostiana lebih konkret ketimbang dua penyair sebelumnya. Terutama saat mengungkapkan puisi bernada cinta. Cenderung menggambarkan keharuan rasa yang lebih mapan. Merawat cinta kasih yang sudah terjalin kuat. Umpamanya, dalam puisi Rindu Buah Hati. Merindukan seseorang yang sudah menjadi bagian dalam keseharian hidup.
Diungkapkan saat Sang Buah Hati berada jauh dalam dekapan. Ada kekhawatiran terjadi sesuatu yang tidak diingingkan selama menjalani kiprah hidupnya. Lantas menuntun rindu menjadi doa. Bayanganmu tergambar menutup awan/ Mengurung sunyiku / Ingin aku mengusap wajahmu / dengan seberkas cahaya bulan / Yang aku pungut, atas kasih-Nya.
Pada bait selanjutnya, ditegaskan: Sapu gundahku / Bila kabarmu bahagia / Itu yang selalu aku damba / Dalam doa.
Diperkuat puisi lain yang mengungkap kerinduan aku lirik pada buah hatinya, Rindu Ibu. Gamblang. Dekapan ibu penuh doa / Batu-batu di hati pun lunak sudah / Senyumannya secerah mentari siang / Bunga-bunga lincah bergoyang // Seriang wajahmu sepanjang siang dan malam / Menikmati nyanyian yang didendangkannya / Dalam irama syahdu / Membuatku selalu merinduimu.
Proses kreatif ketiga penyair seiring dengan pengalaman. Ekspresi puitis yang dilahirkan menggambarkan ikhtiar serius untuk merekam pengalaman dalam wujud yang paling berkesan. Mengunjungi pantai, gunung, telaga, dan sungai melahirkan impresi. Mengamati gejolak sosial yang terjadi di sekitar dipotret lantas disusun menjadi citra-citra secara artistik.
Berpuisi artinya belajar mengaji:
Alif Laam Miim
Akulah riak dalam lautmu
Akulah laut dalam riakmu
Maka dalam lautmu
Aku menunggumu menuju
Dan dalam riakmu
Aku menantimu menepi
Indihiang, 22 Juli 2020