Connect with us

Teater Bolon: Pedang Penguasa Puisi Ulama

Kliping

Teater Bolon: Pedang Penguasa Puisi Ulama

amang-s-hidayat1-300x224TAK selalu penguasa dicintai rakyat. Sebut saja Sultan Hajaj bin Yusuf, seorang raja yang bertindak  sewenang-wenang. Kata-katanya menjadi hukum yang tidak terbantahkan lagi.

Memenggal kepala orang tanpa alasan yang jelas, bukan  hal yang aneh baginya. Rupanya, tindak-tanduk Sang Sultan membuat  prihatin seorang ulama besar bernama Sa’id bin Juber.

Pertentangan antara ulama dengan penguasa lalim, digambarkan oleh  Teater Bolon dalam pertunjukkan drama bertajuk Ulama vs Tiran, di Gedung Kesenian Tasikmalaya, Senin (26/3/2001).

Teater yang didukung oleh pelajar Madrasah Diniyah ini menjadi  angin segar bagi dunia teater di kalangan anak-anak. Amang S. Hidayat, sang Sutradara dengan serius memfokuskan penggarapan teater untuk bocah-bocah bolon ini.

Ada lima  madrasah yang mengusung pagelaran ini, kata Amang, yakni Al- Azhariah, Al-Ihtihad, Jiwa Besar, Baiturrahman, dan At-Taqwa. Melibatkan anak-anak ke dunia teater dapat dikatakan enteng- enteng bangga.

Apalagi, pengenalan teater untuk kalangan  bocah selama ini belum tersentuh dengan serius. Pendekatan sutradara membutuhkan kesabaran dan tenaga ekstra. Upaya Amang S. Hidayat untuk memperkenalkan teater di tengah-tengah anak SD yang  rata-rata seusia kelas III hingga kelas VI ini, patut dihargai. Mengarahkan 92 pemain bocah, dalam penggarapan ini, bukan pekerjaan mudah.

Dunia panggung dengan set sederhana, cukup mampu menggambar kan suasana yang akan dihadirkan. Sebuah tarian ditampilkan anak-anak bertopeng yang secara ritmis bergerak mengikuti komposisi musik Kitaro. Tayangan pembuka yang sekaligus merupakan  simbolisasi keangkuhan penguasa. Sultan Hajaj (diperankan oleh Nurdin) didampingi permaisuri  dengan gaya congkak tampak gerah. Lantaran menenggarai ada sekelompok rakyat yang tidak menyukai pemerintahannya, dan Hajaj mulai  merasa terancam oleh musuh-musuhnya. Sang Sultan mulai bertindak tegas, para tahanan yang disinyalir akan makar digantung dan dipenggal.

Kelaliman Sultan Hajaj menjadi kontras, ketika latar berpindah ke padepokan Sa’id bin Juber. Lagi-lagi sebuah tarian dimanfaatkan untuk mempertegas latar tempat. Tarian Seudati dengan iringan nasyid, secara gamblang menjadi pengimbang tarian pertama.

Secara teknis tampaknya Sutradara menyadari pengambilan adegan tarian ini, memang, diarahkan untuk menggiring penonton pada suasana tertentu. Di sisi lain, untuk kalangan anak-anak dengan disisipkannya tarian dalam teater, akan lebih mendekatkan apresiasi mereka. Dengan perkataan lain, tarian dapat menjembatani anak-anak untuk mulai mengenal dan menyukai teater.

Teater Bolon juga mengindahkan nilai-nilai didaktis, tetapi tidak terkesan menggurui, karena naskah Yusuf Qardawi yang diadaptasi bebas Amang S. Hidayat dikemas dalam dialog-dialog ringan namun  puitis.

“Janganlah jadi orang yang munafik, orang-orang yang lahir hanya untuk pandai bicara padahal hatinya kosong,” kata Sa’id bin Juber yang diperankan oleh Nirwan ini. “Nikmatnya orang berilmu adalah ketika mengamalkannya,” tuturnya lagi.

Ketika tentara kerajaan mencari Sa’id bin Juber, santri-santrinya semuanya mengaku sebagai Sa’id. Betapa cintanya mereka kepada gurunya, sampai rela menebus dengan nyawa. Dikisahkan, tentara-tentara itu tersentuh hatinya, dan akhirnya bersekutu dengan Sa’id bin Juber. Mati di ujung pedang atau pun mati dengan cara  lain, jika semata-mata untuk Allah, sama saja.***

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement WordPress.com
To Top