Connect with us

Metrum

Hikayat Pisang

SEPEKAN terakhir ini, pisang terhidang di meja makan. Ada yang mungil, di kampung kami disebut cau muli. Sekali santap langsung lenyap.

Ada juga yang menyebut mirip pisang emas atau omas. “Cau muli” bila sudah matang warna kulitnya kuning emas. Mungil tapi cantik. Berbinar.

Berbeda cerita dengan cau bagja. Pisang raksasa multiguna. Mentah dibuat keripik, kulitnya jadi lalap. Matang bisa dikukus atau digoreng.

Panjang cau bagja bisa sesiku orang. Disandingkan dengan pisang emas tidak setanding. Tapi ini bukan soal ukuran. Membandingkan itu kejam.

Warna kulit pisang matang kadang tidak kompak. Pisang ambon arus utama berwarna kuning, sedangkan ambon lumut atau bulu berwarna hijau.

Kulit pisang yang berwarna mérah juga ada. Itulah cau hurang atau cau kidang. Lengkap sudah soal warna. Hijau, kuning, dan merah. Warna favorit.

Soal nama juga ada yang meminjam nama buah lain.Cau nangka. Mirip ambon lumut tapi beraroma buah nangka. Lebih pas digoreng atau dikukus.

Siapa menduga, sebutan raja pun berlaku untuk pisang. Cau raja sebesar pergelangan anak kecil, panjang sekira sejengkal. Rasanya cakial.

Jenis cau raja yang lebih kecil, disebut raja seré atau ceré. Banyak penggemarnya. Selain manis, mungkin karena berisi alias “peungkeur”.

Orang bisa belajar keragaman pada pisang. Berbeda bentuk dan warna tetapi pisang tetap pisang. Dicampur keju, jati diri tidak terganggu. Jadilah pisang keju.

Mereka bangga pada dirinya masing-masing. Mereka dewasa. Mereka tidak saling iri. Mereka tidak mudah bawa perasaan. Unik. Itulah pisang.

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Advertisement
Advertisement WordPress.com
To Top